Oleh :
Zainuddin Hasan, SH.,MH, Faqih Ahmad Onky Dinata, Hemi Rianto, Rivo Raihanza Passa, Olivia Anella
Indonesia mempunyai banyak aneka ragam suku bangsa, salah satunya suku adat lampung, suku adat lampung sendiri mempunyai 2 adat yaitu adat saibatin dan adat pepadun, dalam hal penulis mengangkat judul yang berkaitan dengan suku adat pepadun, suku adat lampung juga mempunyai aturan-aturan terkait dengan harta warisan, suku adat pepadun adalah salah satu dari dua kelompok adat besar dalam masyarakat Lampung.
Masyarakat yang telah mendiami daerah pedalaman atau daerah dataran tinggi Lampung. Adat pepadun didirikan sekitar abad ke-16 pada zaman kesultanan Banten. Pada mulanya terdiri dari 12 kebuaian (Abung Siwo Mego dan Pubian Telu Suku), kemudian ditambah 12 kebuaian lain yaitu Mego Pak Tulang Bawang, Buay Lima Way Kanan dan Sungkai Bunga Mayang (3 Buay) sehingga menjadi 24 kebuaian.Adat Pepadun dipakai oleh masyarakat adat Abung Siwo Mego, Mego Pak Tulang Bawang, Pubian Telu Suku, Buay Lima Way Kanan dan Sungkai Bunga Mayang.
Adat pepadun juga mempunyai aturan yang mutlak dan sudah menjadi kebiasaan masyarakat adat pepadun untuk mengikutinya. Pepadun dalam pengertiannya merupakan suatu alat untuk tempat duduk atau bangku takhta kepenyeimbangan adat pada masyarakat adat Pepadun.Pada mulanya Pepadun atau bangkub tahta tersebut, didapat oleh para punyimbang adat lampung Pepadun.
Nama “Pepadun” berasal dari perangkat adat yang digunakan dalam prosesi Cakak Pepadun. “Pepadun” adalah bangku atau singgasana kayu yang merupakan simbol status sosial tertentu dalam keluarga. Prosesi pemberian gelar adat (“Juluk Adok”) dilakukan di atas singgasana ini. Dalam upacara tersebut, anggota masyarakat yang ingin menaikkan statusnya harus membayarkan sejumlah uang (“Dau”) dan memotong sejumlah kerbau. Prosesi Cakak Pepadun ini diselenggarakan di “Rumah Sesat” dan dipimpin oleh seorang Penyimbang atau pimpinan adat yang posisinya paling tinggi.
Adat pepadun biasanya memakai sistem pewaris tunggal yaitu mayorat laki-laki, bahwa laki-laki tertua dari pewaris yang mendapatkan warisan jika pewaris sudah meninggal dunia, namun jika pewaris masih hidup maka anak laki-laki tertua tadi hanya dapat memanfaatkan warisan tersebut dan betanggungjawab pada apa yang diberikan oleh pewaris. Aturan waris ini sudah menjadi landasan yang kuat dan diterapkan secara turun-temurun. Pada sistem harta waris ada 3 yaitu warisan kebapaan yang mana disebut warisan (Patrilineal), sistem keibuan (Matrilineal), dan sistem kebapak-ibuan (Parental).
Pada ketentuan masyarakat adat lampung pepadun dijelaskan bahwa jika pewaris mempunyai anak lebih dari satu dicontohkan jika anak pertama dari pewaris itu perempuan dan anak selanjutnya laki-laki maka yang berhak menerima warisan tetaplah anak laki-laki perempuan karena sudah mengikuti adat kebiasaan yang mana anak laki-laki tertua yang akan mendapatkan warisan, namun dicontohkan kembali jika pewaris memiliki anak perempuan semua (Tega-Tegi) dan tidak ada anak laki-laki maka anak perempuan pertama sudah menikah maka suami dari anak perempuan tertua itu diambil dan diadatkan menjadi anak laki-laki tertua pada pewaris dan hak waris didapatkan oleh anak laki-laki tertua.
Kebiasaan ini sudah dipakai pada jaman nenek moyang masyarakat Lampung Pepadun bahwa anak perempuan tidak boleh diambil oleh orang lain suku. Disini ada pengecualian yaitu dengan cara calon suami dari luar suku lampung diakui saudara atau anak oleh salah seorang yang bersuku lampung, dengan biaya pengakenan anak. Begitu pula bagi laki-laki mengambil dari suku lain penyelesaian adatnya adalah dengan cara yang lazim disebut ngughukken maju.
Dalam hal ngughukken maju: maju/Istri (pengantin perempuan berpakaian lengkap sebagai ratu permaisuri raja) kemudian diarakarak. Maju/Istri tersebut boleh turun/keluar dari rumah paman/kelamow yang agak jauh dari calon suaminya menuju kediaman calon suaminya, dirumah calon suaminya menyiapakan tempat cuci kaki (cebuk kuku) yaitu nampan berisi air dan irisan-irisan anak pisang.
Untuk anak perempuan adat pepadun dalam adat Lampung Pepadun sebenarnya anak perempuan masih mendapatkan harta yakni harta dari peninggalan orang tuanya yang hanya berupa kain, pakaian, lemari, tempat tidur, barang berharga seperti perhiasan dan barang-barang peralatan dapur. Harta pemberian dari orang tua tersebut merupakan harta bawaan yang akan dibawa anak perempuan di dalam pernikahannya. Namun, semua tersebut tergantung dari kebijakan dari ahli waris anak laki-laki tertua tersebut. Jikalaupun akan diberikan harta yang lebih tergantung dari ahli waris tersebut.
Anak perempuan tidak dapat hak waris yang sama terhadap harta peninggalan tersebut, karena anak perempuan itu diibaratkan sebagai Permaisuri. Seorang permaisuri itu menurut dengan semua kebijakan dari seorang laki-laki, dan anak perempuan yang kelak akan mengikuti suaminya, maka dari itu untuk harta yang akan dimiliki oleh anak perempuan nantinya dari suaminya sendiri (harta bawaan).Kedudukan anak perempuan dalam kewarisan tersebut baik dia sebagai anak kandung, anak tiri, ataupun anak angkat kedudukannya tetap bukanlah sebagai ahli waris.
Sebagai ahli waris anak laki-laki tertua mempunyai tanggungjawab yang harus diberikan terhadap adik-adiknya dengan bentuk tanggung jawab sosial. Tanggung jawab sosial adalah kewajiban yang harus dilaksanakan baik tingkah laku maupun perbuatan di dalam lingkungan keluarga maupun adat istiadat, bukan cuma adat saja namun ada juga bentuk tanggungjawab seperti tingkah laku dan perbuatan yang di sengaja maupun tidak disengaja.
Anak tertua laki-laki merupakan anak laki – laki pertama yang lahir dalam sebuah keluarga meskipun dia anak terakhir. Menurut silsilah dalam Adat Lampung Pepadun anak tertua laki – laki disebut anak tuho yang biasa dipanggil oleh adik – adik nya “kanjeng ataupun kiyai” baik panggilan dari keluarga suttan maupun rajo. Yang mana dalam Adat Lampung Pepadun anak tertua laki – laki ini memiliki tanggung jawab yang sangat besar terhadap keluarga nya karena anak tertua laki – laki ini merupakan harapan untuk meneruskan silsilah keturunan didalam keluarga.
Adapun bentuk tanggungjawab anak laki-laki terhadap orang tua dan adik-adiknya, berbakti pada orang tua dan menjaga adik-adiknya, dan merawat dan menyayangi orang tua dan adik-adiknya dengan sepenuh hati, memperhatikan keadaan orang tua dan keadaan adik-adiknya, serta mendoakan orang tua dan mendoakan adik-adiknya, selain itu memperlakukan orang tua dengan hormat dan menghormati setiap pendapat adik-adiknya, bentuk tanggung jawab lainnya yakni mentaati orang tua, tanggung jawab menjadikan Orang tua dan adik-adiknya prioritas utama, dan melindungi orang tua dan adik-adiknya, serta menjaga kehormatan dan nama baik orang tua serta adik- adiknya, disamping itu juga memberi Nasehat Pada Orang Tua dan adik-adiknya, meringankan Beban Orang Tua dan adik-adiknya, dan menjadi Pengingat Untuk Ibadah Pada Orang Tua dan adik-adiknya, serta merendahkan diri kepada orang tua.
Masyarakat lampung biasa mengenal istilah kekerabat yaitu kekeluargaan dalam masyarakat adat lampung pepadun di sebut miyanak waghei yaitu semua keluarga baik dari pihat ayah maupun pihak ibu, baik karena hubungan darah maupun dari perkawinan ataupun dari pertalian adat mewarei. Biasanya masyarakat adat pepadun telah mengikuti adat kebiasaan yang mana jika bertemu dengan seseorang yang bukan saudara namun satu suku dan satu adat biasanya mereka menyebutnya dengan istilah sekelik yang artinya saudara tidak sekandung namun satu suku dan adat yang sama.
Selain istilah-istilah diatas masyarakat adat pepadun mengenal istilah perkawinan jujur. Perkawinan jujur adalah perkawinan yang dilakukan dengan pembayaran uang jujur dari pihak pria kepada pihak wanita. Dengan telah dilakukan uang jujur tersebut, konsekuensinya adalah si wanita mengikatkan diri pada perjanjian untuk ikut pihak suami, baik pribadi maupun harta benda yang dibawa akan tunduk pada hukum adat suami, kecuali ada ketentuan lain yang menyangkut barang-barang bawaan isteri tertentu.
Masyarakat adat Lampung Pepadun menggunakan beberapa cara pembagian harta waris yaitu dengan cara penerusan atau pengalihan dan penunjukan:
Pertama Penerusan atau pengalihan, di daerah Lampung penerusan atau pengalihan hak atas kedudukan dan harta warisan biasanya dilakukan setelah pewaris berumur lanjut dimana anak tertua laki-laki sudah mantap berumah tangga demikian juga adik-adiknya.
Kedua Penunjukan, penunjukan oleh orang tua kepada anak-anaknya atau pewaris kepada ahli warisnya atas harta tertentu, maka berpindahnya harta tertentu, maka berpindahnya penguasaan dan pemilikannya baru berlaku sepenuhnya para ahli waris setelah pewaris wafat.
Ciri khas atau kekhususan dari waris adat Lampung Pepadun ini lebih didominasi oleh anak Laki-laki tertua tetapi masyarakat adat Lampung tidak menyebutnya sebagai waris tetapi Hak Budel.
Pada perkawinan adat pepadun masyarakat lampung khususnya masyarakat pepadun tahu benar bahwa perkawinan suami istri yang tidak memiliki garis keturunan laki-laki maka suami di perbolehkan untuk menikah lagi dan mendapatkan anak laki-laki guna memperkuat adat dari si pewaris yaitu suami. Dan dalam penyelesaiannya dari kemungkinan menimbulkan perselisihan di antara para waris dikemudian hari pewaris dimasa hidupnya seringkali telah menunjukkan cara bagaimana mengatur harta kekayaan keluarganya.
Jadi sebelum pewaris meninggal ia telah berpesan yang disampaikannya dengan terang kepada isteri dan anak-anaknya telah bagaimana kedudukan harta kekayaannya kelak apabila ia telah wafat. Pada dasarnya yang berhak mewarisi harta warisan ialah anak lelaki, terutama anak-anak lelaki yang sudah dewasa dan berkeluarga, sedangkan anak-anak perempuan tidak sebagai waris tetapi dapat sebagai penerima bagian harta warisan untuk dibawa sebagai harta bawaan kedalam perkawinannya pihak suami.
Penyelesaian perselisihan harta warisan adat lampung pepadun biasanya di selesaikan oleh tokoh adat setempat dengan cara mengundang tokoh adat yaitu anggota Purwatin, anggota Purwatin adalah semacam wadah atau tempat perkumpulan tokoh adat setempat guna untuk memudahkan masyarakat lampung bila ada masalah atau acara biasanya mengaitkan tokoh adat setempat, namun dalam hal harta waris bila dari pewaris dan ahli waris tidak ingin mengaitkan tokoh adat mereka menyelesaikannya dengan cara musyawarah mufakat sekeluarga saja atau internal saja.
(Dosen Dan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bandar Lampung)